Dunia
masih mengenangnya. Airmata masih ada yang mengalir ketika mengingat
kebesarannya. Ada rasa malu kalau membandingkan dengan keadaan kita sekarang.
Ada rasa haru jika melihat kembali perjuangan-perjuangannya; bagaimana ia
dengan penuh
kasih-sayang
mengusap darah suaminya seusai perang dan merawatnya penuh perhatian; bagaimana
ia mengambil air sendiri dengan berjalan jauh sampai membekas di dadanya; dan
bagaimana ia menginap di rumah Rasulullah sementara ‘Ali menggantikan tempat
tidur Nabi saat orang kafir Quraisy mengepung. Malam itu, Rasulullah
meninggalkan Makkah dan bersembunyi di gua Tsaur. Sementara orang kafir
mengancam nyawanya.
Fathimah
sangat besar perjuangannya. Dia adalah putri dari seorang yang suci. Dia
sendiri suci. Dari rahimnya yang suci, kita pernah mendengar nama Al-Hasan dan
Al-Husain yang ikut bersama kakeknya ketika akan melakukan mubahalah (perang
doa) dengan pendeta Bani Najran. Ia juga melahirkan Zainab yang kelak harus
meninggalkan Mesir. Dari keturunan Zainab inilah kelak Imam Syafi’I mendapat
tempat dan perlindungan. Juga membuka pesantrennya.
Hari
ini adalah bulannya Dzulhijjah.. Bulan haji. Bulan ketika orang memotong leher
kambing dan sapi, tepat pada tanggal 10. Sama seperti tahun itu, ketika
orang-orang Kufah memintanya menjadi khalifah dan mereka siap berbai’at
kepadanya. Tanggal 10 Dzulhijjah tahun itu, kaum muslimin juga menyembelih
leher kambing kibasy.
Tetapi
sebulan berikutnya, dunia tidak akan pernah melupakan. Jika pada tanggal 10
Dzulhijjah orang-orang Islam bergembira ketika memotong leher kambing dan onta,
hari itu hati yang bersih menjerit menangis ketika penguasa yang zalim memotong
leher orang yang paling dicintai Rasulullah Saw.. Jika dulu Fathimah Az-Zahra
membukakan pintu kepada Rasulullah ketika akan menemui Al-Husain, hari itu para
wanita segera menutup wajahnya dengan niqab untuk menyembunyikan keperihan hatinya
ketika melihat kepala Al- Husain diarak. Jika dulu Rasulullah sering mendekap
dan menciumnya, hari itu wajah yang sering didoakan Rasulullah itu dihinakan.
Bahkan ketika sudah menjadi mayat, giginya masih diantuk-antuk dengan ujung
pedang. Padahal,
jenazah orang
kafir saja kita disuruh menghormati. Akan tetapi Al-Husain justru harum dengan
darahnya. Sama seperti airmata Zainab yang menyelamatkan ‘Ali Ausath,
satu-satunya putra Al- Husain yang masih tersisa dari pembantian. Airmata itu
sampai sekarang tetap mengalir di dada kaum muslimin yang tahu hak mereka,
bercampur dengan darah Al-Husain yang harum.
Pelajaran
kadang memang harus pahit. Namun peristiwa di tanah duka (Karbala) itu rasanya
terlalu pahit. Hanya Al-Husain yang sanggup memikul kemuliaan itu. Kita yang
mencintai leher kita, apalagi kita masih mencintai sapu tangan dan keramik
unik, tidak cukup layak untuk mendapatkan kehormatan. Alangkah tingginya
Al-Husain dan keturunannya. Alangkah jauhnya kita darinya. Lantas, apakah
masih ada alasan untuk bersombong di hadapan kemuliannya? Kita memang
terlalu jauh dari derajat Al-Husain. Bahkan untuk layak disebut sebagai
golongan yang mencintainya saja, entah layak entah tidak.
Sekadar
meniru An-Nasa’I saja, saya belum yakin kita mempunyai cukup keberanian dan
ketegaran. Sekarang, tangan kita lecet sedikit saja sudah membuat wajah kita
muram dan mulut meringis. Padahal An-Nasa’i merelakan nyawanya demi
kecintaannya. Sama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal yang bersedia dipukuli
penguasa. Sama seperti Imam Syafi’i yang konon adalah imam kaum muslim
Indonesia, sebab mayoritas umat Islam Indonesia bermadzab Syafi’iyah meskipun
kadang masih mencela orang yang melaksanakan qaul (pendapat hasil
ijtihad) Imam Syafi’i.1
Dan
kita tahu,
mereka semua
adalah ulama-ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah
Ah,
sudahlah. Dengan rasa malu atau tidak sama sekali, kita harus mengakui betapa
jauhnya kita dari orang-orang terdahulu. Sangat jauh. Meskipun demikian, masih
ada yang dapat kita ambil. Kita dapat melihat kembali sebagian kecil teladan
Fathimatuz Zahra sehingga mempunyai keturunan yang mulia sampai
generasi-generasi yang jauh sesudahnya, termasuk Syaih ‘Abdul Qadir Al-Jailani2 maupun Sayyid ‘Abdullah
Haddad.
Keteladanan
Fathimatuz Zahra mencakup kedekatan kepada Allah, kuatnya dalam menegakkan
shalat malam, khusyuknya dalam berzikir, kesetiaannya yang sangat luar biasa
kepada suami, serta kuatnya kecintaan dan perhatian kepada anak-anaknya. Hari
ini, insya-Allah kita akan mencoba melihat bagaimana Fathimah Az-Zahra mendidik
dan membesarkan putraputrinya. Sedangkan keteladanan lain, silakan periksa
sendiri. Tentu saja, membicarakan Fathimah Az-Zahra radhiyallahu ‘anha tidak
bisa lepas dari pembicaraan mengenai suaminya ‘Ali bin Abi Thalib karamallahu
wajhahu dan ayahnya Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
---
Kepada anak-anak
perempuannya,
Fathimah
mengajarkan keberanian,
pengorbanan,
keteguhan,
dan tidak takut
kepada orang lain.
---
Imam
Nawawi al-Bantani (Al-Jawi) pernah menuliskan keagungan Fathimah Az-Zahra
ketika berbicara masalah hak dan kewajiban suami-istri. Berikut ini saya kutip
dari Uqudul Lujain karya Imam Nawawi Al-Bantani.
Suatu
hari Rasulullah Saw. Menjenguk Az-Zahra. Ketika itu ia sedang membuat tepung
dengan alat penggiling sambil menangis. “Kenapa menangis, Fathimah?” Tanya
Rasulullah, “Mudah-mudahan Allah tidak membuatmu menangis lagi.” “Ayah,”
Fathimah menjawab, “aku menangis hanya karena batu penggiling ini, dan lagi aku
hanya menangisi kesibukanku yang silih berganti.” Rasulullah kemudian mengambil
tempat duduk di sisinya, kata Abu Hurairah. Fathimah berkata, “Ayah, demi
kemuliaanmu, mintakan kepada ‘Ali supaya membelikan seorang budak untuk
membantu pekerjaan-pekerjaanku membuat tepung dan menyelesaikan pekerjaan
rumah.” Setelah mendengar perkataan putrinya, Rasulullah bangkit dari tempat duduknya
dan berjalan menuju tempat penggilingan. Beliau memungut segenggam biji-bijian
gandum dimasukkan ke penggilingan. Dengan membaca bismillahir rahmanir rahim
maka berputarlah alat penggiling itu atas ijin Allah. Beliau terus
memasukkan biji-bijian itu sementara alat penggiling terus berputar sendiri,
sambil memuji Allah dengan bahasa yang tidak dipahami manusia. Ini terus berjalan
sampai biji-bijian itu habis.
Rasulullah
Saw. berkata kepada alat penggiling itu, “Berhentilah atas ijin Allah. Seketika
alat pengiling pun berhenti. Beliau berkata sambil mengutip ayat Al-Qur’an, Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak pernah mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya, dan mereka selalu mengerjakan segala
yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).
Merasa
takut jika menjadi batu yang kelak masuk neraka, tiba-tiba batu itu bisa
berbicara atas ijin Allah. Ia berbicara dengan bahasa Arab yang fasih. Batu itu
berkata, “Ya, Rasulallah. Demi Dzat yang Mengutusmu dengan hak menjadi Nabi dan
Rasul, seandainya engkau perintahkan aku untuk menggiling biji-bijian yang ada
di seluruh jagat Timur dan Barat, pastilah akan kugiling semuanya.”
Dan
aku mendengar pula, kata Abu Hurairah yang meriwayatkan kisah ini, bahwa Nabi
Saw. bersabda, “Hai Batu, bergembiralah kamu. sesungguhnya kamu termasuk batu
yang kelak dipergunakan untuk membangun gedung Fathimah di surga.” Seketika
itu, batu penggiling itu bergembira dan berhenti. Nabi Saw. bersabda kepada
putrinya, Fathimah Az-Zahra, “Kalau Allah berkehendak, hai Fathimah,
pasti batu penggiling itu akan berputar sendiri untukmu. Tetapi Allah
berkehendak mencatat kebaikan-kebaikan untuk dirimu dan menghapus
keburukan-keburukanmu, serta mengangkat derajatmu.
Hai
Fathimah, setiap istri yang membuatkan tepung untuk suami dan anak-anaknya,
maka Allah mencatat baginya memperoleh kebajikan dari setiap butir biji yang
tergiling, dan menghapus keburukannya, serta mengangkat derajatnya.
Hai
Fathimah, setiap istri yang berkeringat di sisi alat penggilingnya karena
membuatkan bahan makanan untuk suaminya, maka Allah menjauhkan antara dirinya
dan neraka sejauh tujuh hasta.
Hai
Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisirkan
rambut dan mencucikan baju mereka, maka Allah mencatatkan untuknya memperoleh
pahala seperti pahala orang yang memberi makan seribu orang yang sedang
kelaparan dan seperti orang yang memberi pakaian seribu orang yang telanjang.
Hai
Fathimah, setiap istri yang mencegah kebutuhan tetangganya, maka Allah kelak
akan mencegahnya (tidak memberi kesempatan baginya) untuk minum dari telaga
Kautsar pada hari kiamat.
Hai
Fathimah, tetapi yang lebih utama dari semua itu adalah keridhaan suami
terhadap istrinya. Sekiranya suamimu tidak meridhaimu, tentu aku tidak akan
mendoakan dirimu.
Bukankah
engkau mengerti, Hai Fathimah, bahwa ridha suami itu bagian dari ridha Allah,
dan kebencian suami merupakan bagian dari kebencian Allah.
Hai
Fathimah, manakala seorang istri mengandung, maka para malaikat memohon ampun
untuknya, setiap hari dirinya dicatat memperoleh seribu kebajikan, dan seribu
keburukannya dihapus. Apabila telah mencapai rasa sakit (menjelang melahirkan)
maka Allah mencatatkan untuknya memperoleh pahala seperti pahala orang-orang
yang berjihad di jalan Allah. Apabila telah melahirkan, dirinya terbebas dari
dosa seperti keadaannya setelah dilahirkan ibunya.
Hai
Fathimah, setiap istri yang melayani suaminya dengan niat yang benar, maka
dirinya terbebas dari dosa-dosanya seperti pada hari dirinya dilahirkan ibunya.
Ia tidak keluar dari dunia (yakni mati) kecuali tanpa membawa dosa. Ia
menjumpai kuburnya sebagai pertamanan surga. Allah memberinya pahala seperti
seribu orang yang berhaji dan berumrah, dan seribu malaikat memohonkan ampunan
untuknya hingga hari kiamat.
Setiap
istri yang melayani suaminya sepanjang hari dan malam hari disertai hati yang
baik, ikhlas, dan niat yang benar, maka Allah akan mengampuni dosanya. Pada
hari kiamat kelak dirinya diberi pakaian berwarna hijau, dan dicatatkan
untuknya pada setiap rambut yang ada di tubuhnya dengan seribu kebajikan, dan
Allah memberi pahala kepadanya sebanyak seratus pahala orang yang berhaji dan
berumrah.
Fathimah, setiap istri yang tersenyum manis di
muka suaminya, maka Allah memperhatikannya dengan penuh rahmat. Hai
Fathimah, setiap istri yang menyediakan diri tidur bersama suaminya dengan
sepenuh hati, maka ada seruan yang ditujukan kepadanya dari langit. ‘Hai
wanita, menghadaplah dengan membawa amalmu. Sesungguhnya Allah telah
mengampuni dosa-dosamu yang berlalu dan yang akan datang.
Hai
Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut suaminya, demikian pula
jenggotnya, memangkas kumis dan memotong kuku-kukunya, maka kelak Allah akan
memberi minum kepadanya dari rahiqim makhtum (tuak jernih yang tersegel)
dan dari sungai yang ada di surga. Bahkan kelak Allah akan meringankan beban
sakaratul maut. Kelak ia akan menjumpai kuburnya bagaikan taman surga. Allah
mencatatnya terbebas dari neraka dan mudah melewati sirath (titian).
Mihrab Agung
Orang-orangTercinta
Lima orang anak
yang dikaruniakan Allah Swt. Kepada Az-Zahra, yaitu: Hasan, Husain, Zainab,
Ummu Kultsum, dan Muhsin yang meninggal keguguran ketika masih berupa janin
dalam rahim sucinya. Ummu Kultsum kelak dinikahi oleh Umar bin Khaththab karena
keinginan Umar yang kuat untuk bersambung ikatan darah dengan Rasulullah.
Fathimah
Az-Zahra mendidik sendiri dua putra dan dua putri yang diamanahkan Allah Swt.
kepadanya. Ia susui anak-anaknya dengan air susunya sendiri. Ia rawat
anak-anaknya dengan tangannya sendiri. Ia memilih untuk mendekap anaknya
sendiri, meskipun kepayahan bekerja dan ada orang yang mau menggantikan, karena
ibulah yang bisa menyayangi anaknya, bukan orang lain --termasuk baby-sitter.
Padahal
sekarang ibu-ibu muda kadang memilih untuk bisa makan dengan tenang dan enak,
sedangkan menggendong anak biar dikerjakan oleh baby-sitter. Mari kita
dengarkan cerita dari Bilal, muadzin Rasulullah:
“Saya melewati
Fathimah yang sedang menggiling,” kata Bilal, “sementara anaknya menangis.” “Saya
berkata kepadanya,” kata Bilal melanjutkan. “Jika engkau mau, biar aku yang
memegang gilingan dan engkau memegang anak itu. Atau, aku yang memegang anak
itu dan engkau memegang gilingan.” Ia berkata, “Aku lebih dapat mengasihi
anakku daripada engkau.” Sebagaimana istrinya, Sayyidina Ali juga menolak orang
membawakan makanan yang akan diberikan kepada anaknya (masyaAllah, betapa
hatihatinya beliau menjaga kebarakahan).
Shalih,
seorang pedagang pakaian pernah mendapat cerita dari neneknya, “Saya melihat
Ali karamallahu wajhahu membeli kurma dengan harga satu dirham,
lalu beliau membawanya dibungkus selimut. Saya berkata kepadanya atau seseorang
berkata kepadanya, ‘Saya yang akan membawanya, wahai Amirul Mukminin.’ Beliau
berkata,
‘Jangan! Kepala
keluarga lebih berhak membawanya.’”
Kisah
ini disampaikan oleh Imam Bukhari. Jabatan Imam Ali saat itu adalah khalifah,
Amirul Mukminin. Pada masa sekarang, jabatan itu lebih tinggi daripada presiden
atau raja sebuah negara, sebab kekuasaannya meliputi negeri-negeri lain. Tetapi
untuk membawakan makanan anak, Amirul Mukminin tidak mau menyerahkan kepada
orang lain.
Jabir
Al-Anshari menceritakan bahwa Nabi melihat Fathimah sedang menggiling dengan
kedua tangannya sambil menyusui anaknya. Maka mengalirlah airmata Rasulullah. “Anakku,”
katanya, ”engkau menyegerakan kepahitan dunia untuk kemanisan akhirat.”Fathimah
mengatakan, “Ya Rasulallah, segala puji bagi Allah atas nikmat-Nya, dan
pernyataan syukur hanyalah untuk Allah atas karunia-Nya.” Lalu Allah menurunkan
ayat, “Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberimu karunia-Nya kepadamu, lalu
(hati) kamu menjadi puas.”
Kepada
anak-anak perempuannya, Fathimah mengajarkan keberanian, pengorbanan,
keteguhan, dan tidak takut kepada orang lain sejauh ia berdiri di atas
kebenaran. Sehingga kita mendapati, dalam situasi yang penuh ketakutan dan
leher sewaktu-waktu bisa terputus, Zainab masih bisa menghadap Ibnu Ziyad
dengan penuh ketegaran. Kesedihan yang teramat sangat ketika hampir semua
saudara, kemenakan, sanak-kerabat, dan sahabat menjadi mayat berserakan, tidak
membuatnya kehilangan keberanian dan ketegaran untuk mengatakan apa yang
seharusnya dikatakan. Mengatakan kebernaran. Ketika Ibnu Ziyad menghina Zainab
dengan perkataan, “Puji Tuhan yang telah mempermalukan dan menyingkap dusta
kalian. Puji Tuhan yang telah mengobati rasa dendam dan kesumatku kepada
saudaramu.”; Zainab menjawab dengan tegar, tanpa rasa takut. “Puji Tuhan yang
telah menganugerahi kami keutamaan syahadah. Puji Tuhan yang telah menetapkan kenabian
pada keluarga kami. Kekalahan dan kenistaan adalah milik kalian wahai
orang-orang zalim dan fasik. Syahadah adalah kebanggaan, bukan
kenistaan.
Orang-orang zalimlah yang suka berbohong, bukan kami. Kami ahli hakikat. Semoga
Tuhan mencabut nyawamu, wahai anak marjanah!” Ibnu Ziyad dan orang-orang
yang hadir kaget mendengar kata “marjanah”, wanita lacur. Ibnu Ziyad
sangat tertampar dengan kata itu, sehingga ia berkata, “sudah begini kalian
masih berani angkat suara.”
Ibnu Ziyad
mengambil kesempatan bicara dengan ‘Ali Ausath, kelak dikenal dengan gelar ‘Ali
Zainal ’Abidin. Dia pun memberi jawaban yang tak kalah pedasnya dengan Zainab,
padahal dia masih sangat kecil (bandingkan dengan anak TPG/TPA
sekarang). Kemudian Ibnu Ziyad memanggil algojo, tukang jagal manusia,
untuk memotong kepala ‘Ali Zainal ’Abidin. Tiba-tiba Zainab bangkit dan memeluk
‘Ali Zainal ’Abidin dengan erat sambil mengatakan, “Demi Allah, lehernya tidak
akan terpenggal sebelum kalian
penggal leherku
terlebih dulu.” Ibnu Ziyad memandang Zainabdengan heran dan berkata, “Alangkah kuatnya
rahim mempererat mereka.” Inilah Zainab, hasil didikan madrasah suci bernama
Fathimatuz Zahra.
Semenjak
kecil mereka dididik oleh ibu yang sangat kuat kasih sayangnya. Dari Az-Zahra
juga, mereka belajar pengorbanan. Mereka belajar banyak tentang pengorbanan
dari ibu mereka, Fathimah Az-Zahra, dan ayah mereka, ‘Ali karamallahu
wajhahu. Ada kisah pengorbanan mereka yang kemudian menjadi sebab turunnya
surat Al-Insaan (76) ayat 8-9. “Dan mereka memberikan makanan yang
disukainya kepada orang miskin,
anak yatim dan
orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan
kepadamu
hanyalah untuk mendapat ridha Allah. Kami tidak mengharapkan
balasan dari
kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.” (QS. Al-Insaan:8-9).
Ketika
itu Hasan dan Husain sedang dalam keadaan sakit. Rasulullah ditemani oleh
beberapa sahabat, datang menjenguk mereka. Rasulullah menyarankan kepada ‘Ali
untuk mengucapkan janji (bernazar) kepada mereka itu. Semua anggota keluarga,
termasuk Fathimah, ‘Ali dan Fazzah, pembantu mereka, mengucapkan janji kepada
Allah untuk menjalankan puasa selama tiga hari bila putra-putra ‘Ali sembuh
dari sakit.
Ketika
mereka sembuh, puasa pun dimulai. Tetapi mereka tidak memiliki apa-apa untuk
berbuka puasa. ‘Ali kemudian meminjam tiga sha’ gandum dari seorang Yahudi di
Khaibar bernama Syam’un. Fathimah memegang lima keping roti dengan sepertiga
bagian gandum itu dan meletakkan di atas meja makan saat berbuka puasa. Pada
saat hendak berbuka puasa, seorang pengemis mengetuk pintu dan meminta makanan sambil
berkata, “Tolonglah aku, semoga Allah memberimu makan dengan makanan surga.”
Keluarga itu pun memberikan makanan mereka dan berbuka hanya dengan air.
Hari
berikutnya mereka masih berpuasa. Sekali lagi lima keping roti dipersiapkan.
Kini, seorang anak yatim mengetuk pintu untuk meminta makanan. Keluarga itu
sekali lagi memberikan makanan mereka kepada anak yatim itu. Pada hari ketiga
datang tawanan menjelang saat berbuka. Mereka melakukan hal yang sama. Pada
hari ketiga, ‘Ali membawa anak-anaknya ke rumah Rasulullah. Melihat keadaan
cucu-cucunya, beliau menjadi sedih dan berkata, “betapa susah bagiku melihat
kalian dalam keadaan yang sulit ini.” Lalu beliau mengajak mereka kembali ke
rumah Fathimah. Ketika tiba di
sana, Fathimah
sedang berdo’a, sementara kondisi tubuhnya sedang dalam keadaan lemah dan
matanya begitu sayu. Melihat ini, Rasulullah Saw. menjadi bertambah sedih. Pada
waktu itu, malaikat Jibril datang kepada beliau dan mengatakan, “Terimalah
hadiah dari
Allah ini. Allah
mengirimkan ucapan selamat bagimu karena memiliki keluarga yang begitu mulia.” Lalu
Jibril membacakan kepada Rasulullah surat Al-Insaan (Hal Ata).
Inilah
Fathimah, ibu yang mendidik anak-anaknya dengan kesabaran dan kelembutan luar
biasa itu. Ia menanamkan ke dada anak tauhid dan kesediaan untuk
berdarah-darah.
Fathimah,
kata Soraya Maknun, mendidik seorang anak perempuan seperti Zainab seorang
wanita yang terpelajar, bijaksana dan terhormat, yang kata-katanya dapat
menenangkan saudaranya yang tak berdosa pada saat-saat kritis di senja bulan Asyura’
(Muharram). Inilah wanita yang emosinya sangat matang.
Kisah
Fathimah Az-Zahra akan lebih panjang lagi kalau diteruskan. Dan kertas ini
tidak cukup untuk menuliskannya.
Sambil
bermain-main dengan Hasan, Fathimah mengajarkan kepada anaknya dengan
mengatakan :
Jadilah
seperti ayahmu, wahai Hasan
Lepaskan
tali kendali yang membelenggu kebenaran
Sembahlah
Tuhan yang memiliki anugerah
Janganlah
kau bantu orang yang memiliki dendam
Saya
tidak tahu apakah kita bisa meneladani Fathimatuz Zahra, sedangkan tingkatan
kita masih seperti ini. Jauh sekali. Tetapi saya berharap pembicaraan ini ada
manfaatnya. Setidaknya mengajari kita rasa malu, untuk tahu diri. Kalau kita
sudah merasa berkorban dan berjasa, sebandingkah dengan pengorbanan Az-Zahra
dan keluarganya?
Satu
hal, tulisan ini adalah do’a. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan kepada kita
keturunan yang penuh barakah dan Allah mengaruniakan kepada mereka barakah,
sampai yaumil-qiyamah. Semoga Allah mengaruniakan pada kita keluarga
yang penuh barakah dan Allah melimpahkan barakah kepada kita.